Naik KA Gajayana Luxury dari Jakarta ke Malang, Seperti Apa Rasanya?

KA Gajayana Luxury dari Jakarta ke Malang

STASIUN MALANG – Aku masih ingat betul malam itu di Stasiun Gambir. Suasananya khas: lampu terang, derit suara koper, dan pengeras suara yang sesekali mengumumkan keberangkatan kereta.

Malam belum terlalu larut, tapi udara Jakarta sudah mulai lembap. Aku berdiri di depan gate, agak ragu awalnya—tapi ternyata sekarang cukup menatap kamera, dan sistem pengenalan wajah membuka akses masuk.

Cepat dan praktis. Aku nyaris tak percaya proses boarding kereta api bisa semodern ini.

Tujuan malam itu: Malang.

Perjalanan jauh yang akan kutempuh dengan KA Gajayana Luxury—salah satu layanan kelas tertinggi milik KAI. Jaraknya sekitar 900 kilometer, ditempuh semalaman, dan baru tiba keesokan paginya.

Tapi anehnya, tak ada rasa lelah atau capai. Justru aku menantikan perjalanan ini.

Sebelum naik, aku menyempatkan duduk sebentar di lounge. Letaknya tidak jauh dari peron, suasananya tenang dan bersih.

Kursi empuk, tersedia minuman ringan, dan ada juga area kerja dengan colokan listrik. Untuk orang-orang yang perlu menyelesaikan pekerjaan sebelum naik, tempat ini sangat membantu.

Aku tak membuka laptop malam itu. Aku hanya duduk, menikmati suasana, sambil sesekali memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di balik kaca.

Begitu Gajayana Luxury tiba, aku langsung terkesan.

Dari luar saja gerbongnya terlihat lebih elegan dibanding kereta lain. Saat aku melangkah masuk, aroma kayu langsung menyusup ke sela hidung. Interiornya memang didominasi motif kayu, membuat kesan hangat sekaligus mewah.

Tempat dudukku ada di sisi jendela, dengan ruang kaki yang lega dan kursi yang bisa disetel sesuai keinginan.

Bahkan tersedia footrest dan lampu baca pribadi. Rasanya lebih mirip kabin kelas bisnis di pesawat.

Baru duduk sebentar, pramugari datang membawa handuk hangat dan jus selamat datang. Layanannya tenang dan sopan, tanpa basa-basi yang berlebihan.

Mereka tidak seperti pelayan hotel yang terlalu kaku, tapi juga tidak seperti petugas transportasi yang asal lewat.

Ada keseimbangan yang pas—membuat penumpang merasa dihargai, tanpa merasa diawasi.

Kereta mulai bergerak. Pemandangan Jakarta malam hari perlahan berganti menjadi kilatan lampu dan gelap.

Aku membuka layar hiburan di kursi depan—tersedia beberapa film dan musik. Aku tak terlalu tertarik menonton, tapi cukup senang tahu kalau fitur ini tersedia.

Lebih dari cukup untuk membuat perjalanan tidak membosankan.

Tak lama kemudian, makan malam datang. Aku memilih Sei Sapi, salah satu menu andalan mereka.

Dagingnya empuk, bumbunya khas, dan disajikan hangat dengan nasi dan sayuran. Untuk ukuran makanan dalam perjalanan, kualitasnya mengejutkan.

Tidak seperti makanan cepat saji, tapi juga tidak terlalu rumit. Sederhana dan enak.

Setelah makan, aku menyandarkan kursi dan mematikan lampu di sekitarku. Di luar jendela, hanya ada gelap dan sesekali sorotan cahaya dari stasiun yang dilewati.

Aku tak tahu pasti di mana kami berada, mungkin sudah di sekitar Cikampek atau Cirebon. Kereta beberapa kali berhenti agak lama—katanya karena perawatan rel.

Tapi anehnya, aku tidak merasa terganggu. Mungkin karena aku tidak sedang dikejar waktu, atau mungkin karena suasana di dalam kereta terlalu nyaman untuk mengeluh.

Sekitar tengah malam, aku terbangun sebentar.

Kereta melaju cukup kencang di jalur lurus, mungkin mendekati 120 km/jam. Di sisi kursi, ada port USB yang kugunakan untuk mengisi daya ponsel.

Aku sempat membuka ponsel dan melihat peta—ternyata kami sudah mendekati Madiun. Waktu berlalu lebih cepat dari yang kupikirkan.

Aku tidur lagi sampai menjelang subuh. Pramugari kembali berkeliling menawarkan minuman hangat.

Aku ambil secangkir teh dan duduk menatap jendela. Langit mulai terang perlahan.

Di luar, persawahan dan perbukitan menyambut pagi dengan embun yang menggantung. Ada semacam ketenangan yang sulit dijelaskan—mungkin karena kereta bergerak stabil, atau mungkin karena suasana hati yang memang sedang damai.

Di dalam gerbong, sebagian penumpang masih terlelap. Beberapa mulai bangun dan bersiap-siap.

Aku menuju kamar kecil di ujung gerbong—bersih, terang, dan cukup lega. Setelah cuci muka dan kembali ke kursi, aku mengecek jadwal. Tak lama lagi kami akan tiba di Stasiun Malang.

Benar saja, sekitar pukul delapan pagi, kereta mulai melambat. Deretan rumah, pepohonan, dan papan nama khas kota Malang mulai terlihat.

Suara pengeras suara dari petugas dalam kereta memberi pengumuman akhir.

Stasiun Malang menyambut dengan udara yang jauh lebih sejuk dibanding Jakarta.

Aku turun dengan langkah pelan, menarik koper kecilku melewati peron yang sibuk tapi tidak bising. Ada perasaan puas, seperti habis menonton film yang bagus.

Bukan karena mewahnya, bukan karena kecepatan atau fasilitas digitalnya, tapi karena perjalanan ini terasa utuh. Mengalir tanpa paksaan.

Harga tiketnya memang tidak murah. Berkisar antara 1,4 juta hingga 1,8 juta rupiah, tergantung hari dan musim.

Tapi buatku, ini bukan sekadar transportasi. Ini adalah pengalaman. Dan jika nanti aku perlu kembali ke Malang, atau mungkin pergi ke Jakarta lagi, aku tahu persis kereta mana yang ingin kupilih.

KA Gajayana Luxury dari Jakarta ke Malang bukan kereta untuk semua perjalanan.

Tapi untuk malam-malam panjang yang ingin kau habiskan dalam tenang, dengan makanan hangat, kursi nyaman, dan pelayanan yang manusiawi—kereta ini adalah teman perjalanan yang bisa dipercaya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *