Naik Kereta Ekonomi 12 Jam: Nyaman Nggak Sih?

Naik Kereta Ekonomi 12 Jam

STASIUN MALANG – Pagi itu langit Stasiun Malang agak mendung. Gerimis tipis jatuh kayak nyindir aku yang mau nekat naik kereta ekonomi selama 12 jam ke Yogyakarta.

Di dalam hati, ada rasa deg-degan campur penasaran. Soalnya ini kali pertama aku naik kereta sejauh dan selama itu, sendirian pula. Biasanya sih kalau nggak bareng temen, ya aku lebih milih naik pesawat. Tapi kali ini aku lagi pengin ngerasain slow travel—yang katanya, bikin kita lebih “terhubung” sama perjalanan.

Read More

Dari rumah aku udah siapin segalanya. Ransel gede, baju ganti, powerbank, air minum, dan tiga bungkus nasi kucing yang masih hangat karena baru dibungkusin dari warung pojokan dekat indekos. Aku sengaja berangkat lebih pagi, takut ada drama ketinggalan kereta. Begitu sampai di Stasiun Malang Kota Baru, suasananya udah rame.

Orang-orang berlalu-lalang di depan pintu masuk, sebagian sibuk cek HP sambil nenteng tas jinjing, ada yang kelihatan masih setengah sadar dengan rambut acak-acakan dan mata merah karena begadang, dan ada juga yang kayak aku—pura-pura santai sambil senyum kecil, padahal dalam hati bingung mesti ngapain duluan.

Kereta datang tepat waktu. Aku masuk ke gerbong ekonomi paling belakang, sesuai tiket yang aku pesan seminggu sebelumnya. Nomor kursiku 12D, pojok dekat jendela.

Kursi yang sekarang jauh dari bayangan ekonomi zaman dulu yang katanya keras, sempit, dan bikin encok. Sekarang sih, kursinya udah agak miring dan ada sandaran tangan, plus colokan listrik buat ngecas HP. Jarak antar kursi juga manusiawi. Jadi aku bisa duduk dengan cukup lega, meski nggak bisa selonjoran juga.

Di sebelahku duduk seorang bapak-bapak. Dari penampilannya sih rapi, pakai kemeja dan tas kerja. Kami sempat ngobrol dan ternyata dia kerja di salah satu BUMN, lagi dinas ke Solo. Aku kaget juga karena kupikir penumpang ekonomi kebanyakan anak muda atau orang kampung.

Tapi ternyata banyak juga pekerja yang milih naik ekonomi demi irit atau sekadar pengin santai. Bapak itu orangnya ramah, dan kami ngobrol cukup seru. Dia bahkan sempat ngasih aku satu bungkus Beng-Beng karena lihat aku cuma ngemil keripik.

Waktu mulai berjalan. Kereta berangkat perlahan dan suara khas roda besi mulai mengisi ruang. Aku nyender ke jendela sambil nyalain playlist Spotify yang udah aku download semalam. Lagu-lagu akustik dan mellow jadi soundtrack perjalanan hari itu. Di luar, pemandangan sawah dan rumah-rumah kecil di pinggiran Malang mulai lewat satu per satu. Aku tiba-tiba merasa tenang, kayak lagi ikut adegan film yang nggak tahu ujung ceritanya gimana.

AC di dalam gerbong cukup dingin, tapi nggak sampe bikin napas beruap. Aku cuma pakai kaus dan jaket tipis, udah cukup buat nahan dingin. Nggak perlu selimut segala. Yang penting jangan duduk di dekat pintu, katanya sih anginnya suka bocor dari sana. Tapi karena aku duduk di tengah, ya aman-aman aja.

Setelah satu jam, perut mulai keroncongan. Aku buka bekal nasi kucing sambil ngelirik penumpang lain yang mulai jajan juga. Di gerbong ada pramugari kereta yang dorong troli berisi makanan dan minuman. Aku lihat-lihat dulu, lalu akhirnya beli kopi panas seharga sepuluh ribuan. Rasanya? Standar kereta, tapi hangatnya itu loh, cocok banget diminum sambil liatin pemandangan luar.

Oh iya, soal toilet. Banyak yang parno kalau naik ekonomi karena mikir toiletnya jorok. Tapi pas aku coba ke belakang, ternyata bersih-bersih aja kok. Mungkin karena petugas kebersihannya rajin bolak-balik bersihin. Air mengalir, tisu tersedia, dan baunya juga nggak ganggu. Tips dari aku sih: mendingan ke toilet saat kereta baru berhenti di stasiun, biasanya lebih kosong dan masih fresh.

Setelah makan dan ngopi, aku mulai ngantuk. Lampu gerbong masih nyala, tapi suasananya tenang. Aku atur posisi duduk, miringin kursi sedikit, terus nyender sambil nutup mata. Tidur di kereta itu nggak pernah benar-benar pulas, tapi juga nggak bikin lelah banget. Goyangan kereta, suara rel, dan hawa sejuk bikin tidur-tidur ayam jadi cukup menyegarkan. Aku sempat kebangun dua kali karena penumpang di depan buka snack plastiknya dengan suara paling berisik sejagat raya, tapi selain itu, nggak ada gangguan berarti.

Waktu terus jalan. Satu per satu stasiun besar dilewati. Madiun, Solo Balapan, Klaten. Penumpang naik-turun, suasana gerbong berubah-ubah. Ada yang bawa anak kecil, ada yang bawa durian (iya, durian), dan ada juga yang sibuk ngobrol via video call tanpa headset. Tapi justru itu yang bikin seru—kereta ekonomi tuh penuh warna. Nggak sepi, nggak terlalu ramai, tapi cukup rame buat bikin kita ngerasa hidup.

Kadang-kadang aku cuma duduk diam sambil ngelamun. Mikirin hidup, kerjaan, dan kenapa aku selalu suka bepergian jauh sendirian. Mungkin karena di tengah perjalanan kayak gini, aku bisa lebih jujur sama diri sendiri. Nggak perlu pasang topeng, nggak ada yang nge-judge, dan nggak ada distraksi. Cuma aku, kereta, dan alam yang lewat di balik jendela.

Sore mulai turun, langit di luar berubah warna jadi keemasan. Aku ambil HP dan ambil beberapa foto—bukan buat Instagram, tapi buat aku simpan sendiri. Karena ada momen yang terlalu pribadi buat dibagi ke orang lain. Matahari perlahan tenggelam di balik siluet bukit dan pepohonan. Rasanya kayak hadiah dari alam setelah duduk 10 jam di bangku yang sama.

Akhirnya, sekitar pukul delapan malam, kereta masuk ke Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku turun dengan perasaan campur aduk. Lelah, tapi puas. Pegal, tapi senang. Aku berhasil melewati 12 jam perjalanan ekonomi tanpa drama, tanpa ngeluh, dan tanpa sakit pinggang parah. Begitu keluar dari stasiun dan kena udara Yogya yang lembap, aku langsung senyum sendiri.

Naik kereta ekonomi selama 12 jam nyaman nggak? Buatku sih, iya. Selama kita nggak berharap kenyamanan level bintang lima, perjalanan ini justru punya pesonanya sendiri. Nyaman itu relatif, tapi pengalaman—itu yang bikin perjalanan ini layak dijalanin.

Kereta ekonomi mungkin nggak punya reclining seat kayak pesawat, atau privasi kayak kereta eksekutif. Tapi ia punya cerita. Punya suasana. Punya detil kecil yang bikin perjalanan jadi berkesan. Dan yang paling penting, ia ngajarin aku satu hal: bahwa kadang, kenyamanan bukan soal fasilitas, tapi soal cara kita menikmati setiap detiknya.

Jadi, kalau kamu tanya, “Naik kereta ekonomi 12 jam nyaman nggak sih?” Jawabanku: coba dulu deh. Siapa tahu kamu malah jatuh cinta.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *