STASIUN MALANG – Sejak Lala dan anak-anak saya mukim di Jakarta, sekali dalam dua pekan atau maksimal tiga pekan, saya pasti pulang mudik ke Jakarta untuk menemui mereka. Ini mesti saya lakukan agar ikatan fisik, batin, dan emosional antara saya dan anak-anak bisa tetap terjaga. Agar mereka masih tetap sadar bahwa sayalah bapak dari mereka.
Mulanya ada dua moda transportasi yang biasa saya pilih untuk mudik ke Jakarta dari Kudus, naik bus Kudus-Jakarta, atau naik kereta api Semarang-Jakarta, sementara Kudus-Semarangnya kadang saya naik bus, travel, atau diantar teman-teman dari Rahtawu atau Colo.
Pilihan moda transportasi bus saya tinggalkan pada bulan ketiga saya mulai rutin bolak-balik Kudus-Jakarta. Waktu berangkat yang terlalu mepet dengan jam pulang kerja serta waktu tiba yang masih dini hari di Jakarta, menjadi alasan saya meninggalkan bus sebagai pilihan kendaraan mudik.
Saya selalu kalang kabut dan tergesa-gesa keluar kantor di hari Jumat untuk segera mendatangi kantor PO bus yang akan mengantar saya ke Jakarta. Saat tiba di Lebak Bulus, hari masih dini hari, tidak nyaman untuk saya menunggu juga untuk rekan saya yang menjemput saya dari Rawabelong.
Semua itu tidak terjadi jika saya naik kereta api. Jumat sore saya bisa santai-santai dulu sebelum berangkat ke Semarang malam harinya. Dan tiba di Pasar Senen saat hari sudah mulai terang. Jadi setelah dua bulan gonta-ganti moda transportasi antara bus dan kereta api, pada bulan ketiga saya memutuskan selalu naik kereta api saat mudik ke Jakarta, juga saat kembali ke Kudus dari Jakarta.
Termasuk saat kepulangan terakhir saya ke Jakarta Jumat dua hari lalu.
Pada mulanya seperti biasa. Jumat sore jam 5 saya pulang kerja. Setiba di rumah saya packing terutama mengemas barang-barang titipan Lala yang mesti saya bawa. Selepas maghrib saya masak untuk makan malam dan tak lama setelah adzan isya selesai berkumandang saya sudah menyelesaikan makan malam saya.
Jam 8 malam lebih 23 menit, sopir gojek datang menjemput. Ia mengantar saya ke Jalan Lingkar Kudus tempat saya memberhentikan bus yang akan saya tumpangi menuju Semarang. Saya tiba di Stasiun Tawang jelang jam 11 malam. Masih ada waktu sekira 40 menit lagi sebelum kereta api Menoreh berangkat menuju Stasiun Senen.
Saat mencetak tiket di mesin pencetak tiket di dalam stasiun, segerombolan manusia ramai berkumpul di dekat pintu masuk peron. Ada dua orang petugas KAI sedang berbincang dengan mereka. Mereka itu penumpang salah satu kereta api yang keberangkatannya dibatalkan. Mereka sedang mengurus pergantian kereta api, sebagian lagi bertanya perihal pembatalan tiket dan prosedur pengembalian uang.
Menyadari ada jadwal keberangkatan kereta api yang dibatalkan, saya bergegas mencari petugas KAI yang sedang tidak sibuk, lantas bertanya, “Pak, kalau kereta api Menoreh tetap berangkat atau dibatalkan juga?”
“Oh, tetap berangkat, Mas!” Jawabnya singkat.
Tepat jam 11 malam lebih 40 menit, kereta api Menoreh berangkat. Tak lama usai kereta api bergerak, saya tertidur. Tertidur pulas sekali. Hingga akhirnya saya terjaga saat hari sudah pagi, saat matahari perlahan sudah menampakkan diri. Biasanya, pada waktu seperti ini kereta api sudah waktunya tiba di Stasiun Pasar Senen. Karena jadwal kereta api tiba di Pasar Senen jam 5 pagi lebih 48 menit.
Namun betapa terkejutnya saya saat saya melihat jam sudah lebih jam 6 pagi dan kereta api baru tiba di Stasiun Brebes. Saya mulai bertanya-tanya, ada apa ini?
Ternyata sehari sebelumnya ada kereta api anjok di daerah antara Subang dan Indramayu, kereta api itu berangkat dari Gambir dengan tujuan Malang. Ini pula yang jadi sebab beberapa kereta api dibatalkan keberangkatannya dan sebagian lainnya ditunda, tetapi tidak dengan kereta api Menoreh yang saya tumpangi.
Dari Brebes, kereta api yang saya tumpangi lantas bergerak ke jalur selatan. Kabarnya menuju Purwokerta, hendak memutar lewat jalur selatan sebelum kembali ke utara via Bandung. Itu sekadar kabar simpang siur saja yang tidak benar-benar valid. Sekadar kasak kusuk di antara penumpang.
Dari Brebes usai kereta api kembali bergerak, kereta api kerap berhenti terlalu lama di stasiun-stasiun kecil yang kebanyakan baru kali pertama saya datangi. Hingga akhirnya ketika adzan dzuhur berkumandang, saya sudah hampir satu jam duduk-duduk di emperan stasiun Purwokerto yang di banyak tempat sedang di renovasi.
Selanjutnya, alih-alih melanjutkan perjalanan di jalur selatan, kereta api yang saya tumpangi kembali ke Brebes, ke jalur utara. Sejak dari Purwokerto hingga Brebes, entah berapa kali kereta api mesti berhenti dalam waktu yang cukup lama, bahkan di satu titik pemberhentian kereta api berhenti hingga lebih dua jam.
Setelah Brebes, kereta api berhenti dua kali dalam waktu yang cukup lama di dua stasiun di Cirebon. Hingga hari kembali gelap dan saya serta semua penumpang lain sudah lebih 17 jam di dalam kereta api.
Perut saya lapar, sangat lapar, pinggang saya nyeri di beberapa tempat, fisik dan terutama pikiran saya terasa begitu lelah saat kereta api akhirnya masuk stasiun Pasar Senen pada pukul 20.54 WIB. Kurang dua jam empatpuluh enam menit lagi, genap 24 jam saya di dalam kereta.
Tidak seperti kebanyakan orang yang marah, kecewa, bahkan hingga mencaci-maki KAI atas peristiwa ini, kali ini saya enggan bersikap semacam itu. Saya lebih banyak diam, menikmati perjalanan apapun itu bentuknya, dan pada akhirnya kelelahan.