Aku tidak Pernah Menyangka akan Kembali Jatuh Cinta pada Kereta Api

Aku tidak pernah menyangka akan kembali jatuh cinta pada kereta api

STASIUN MALANG – Aku tidak pernah menyangka akan kembali jatuh cinta pada kereta api. Terakhir kali aku naik Argo Bromo Anggrek, mungkin hampir lima belas tahun lalu.

Waktu itu, kereta masih seperti ingatanku yang lama: cukup nyaman, tapi belum meninggalkan kesan yang membekas. Tapi semua berubah minggu ini.

Read More

Ada sesuatu yang menggerakkan langkahku sore itu.

Tadinya aku benar-benar tidak berniat bepergian. Tapi mendadak, jam tiga sore, sebuah panggilan tugas datang. Aku harus berada di Jakarta malam itu.

Tiket pesawat? Gila. Harganya bikin dompet langsung meringis, belum lagi pilihannya cuma penerbangan malam.

Aku benci sampai tengah malam, harus cari transport ke rumah, dan besok paginya sudah harus ke Karawaci, lanjut meeting di Kuningan, nginap pun masih harus pindah ke Thamrin.

Entah kenapa, aku langsung buka aplikasi Access by KAI. Dan di sanalah dia: Argo Bromo Anggrek malam, siap membawaku ke Jakarta. Tangan ini spontan check out. Tanpa ragu.

Begitu masuk kabin, aku terdiam sejenak.

Ini kereta? Serius? Wangi khas interiornya menyambut seperti aroma hotel baru direnovasi. Kursinya empuk, ruang kaki lega, jarak ke kursi depan juga manusiawi banget.

Aku duduk, selonjoran, lalu menyandarkan kepala ke jendela. Kabinnya senyap, nyaris tanpa suara selain ritme halus rel.

Dan bagian terbaiknya: meja lipat dari sandaran tangan. Sebagai pekerja digital yang harus buka laptop di mana pun, ini semacam berkah.

Aku bisa kerja, mengetik proposal, bahkan sempat buka spreadsheet sambil menyeruput kopi dari kafetaria. Kafetaria itu sendiri lebih mirip coffee shop berjalan.

Meja-mejanya punya tinggi ideal, pencahayaannya cukup, dan suasananya membuatku lupa kalau aku sedang berpindah kota.

Aku menyadari, ini bukan Argo Bromo Anggrek yang dulu. Ini versi baru—yang sudah melewati transformasi besar.

Interiornya modern, pelayanannya terasa lebih ramah, dan—yang paling mengejutkan—waktu tempuhnya kini 7 jam saja. Dulu butuh 9 jam, lho. Sekarang hanya berhenti di Jakarta, Cirebon, Semarang, dan Surabaya.

Perubahan ini jelas berkat pembangunan double-double track yang dicanangkan sejak era Pak Ignasius Jonan. Salut untuk langkah besar itu.

Malam itu, aku tiba di Jakarta tanpa drama.

Tak perlu lari-lari di bandara, tak perlu antri panjang, tak perlu tebak-tebakan delay. Aku turun dari kereta, naik transportasi online, dan sampai di tempat tujuan lebih awal dari rencana.

Keesokan harinya, ketidakpastian kembali menyapa. Aku belum tahu apakah harus pulang hari itu atau esok.

Tapi setelah mempertimbangkan semuanya—kenyamanan, harga, dan ketepatan waktu—aku kembali memesan Argo Anggrek. Kali ini jadwal keberangkatanku pukul 08.20 pagi. Dan tepat pukul 16.10 sore, aku sudah sampai Surabaya.

Tidak kurang sedetik pun.

Ada hal menarik yang kupelajari dari dua perjalanan ini: pemilihan gerbong dan kursi sangat menentukan pengalaman.

Saat berangkat, aku memilih gerbong nomor 1 dan duduk dekat jendela. Ternyata, hanya setengah gerbong yang terisi.

Sunyi, nyaman. Saat pulang, aku coba strategi lain: gerbong 8, paling belakang. Hanya enam orang di situ. Seolah-olah itu gerbong pribadi.

Aku juga belajar satu trik penting: belilah tiket di menit-menit terakhir.

Bukan untuk gaya-gayaan, tapi karena sistemnya cenderung mengisi gerbong dari depan ke belakang. Jadi kalau memesan belakangan, kita bisa tahu mana gerbong yang masih sepi.

Dan jangan malas pilih kursi. Banyak orang yang menyerah pada sistem otomatis dan akhirnya terjebak di gerbong penuh anak kecil dan kebisingan.

Padahal kita bisa memilih, bahkan menentukan menu makanan, lewat aplikasi resmi KAI—bukan lewat pihak ketiga yang memotong komisi.

Saat ini, untuk rute Jakarta–Surabaya, Argo Anggrek adalah yang tercepat.

Di China, mungkin rute sepanjang ini bisa ditempuh dalam 1 jam 40 menit. Tapi bagiku, tujuh jam ini justru ruang kontemplasi. Ruang untuk menyusun ulang ritme hidup, sambil menatap sawah dan gunung yang berlarian di balik jendela.

Oh, dan kalau kau ingin benar-benar merasakan pengalaman berbeda, cobalah gerbong kompartemen.

Dengan harga sekitar 2,5 juta, suasananya seperti naik business class Singapore Airlines. Belum sempat kucoba, tapi rasanya sebentar lagi aku akan.

Hari ini, aku kembali ke kota asal dengan tenang. Laptop penuh baterai, kepala penuh ide.

Aku menyender, mengisi napas, dan merasa: ya, ini moda transportasi yang kuinginkan sejak dulu. Bukan cuma soal kecepatan. Tapi tentang bagaimana perjalanan bisa menjadi bagian dari hidup, bukan sekadar jeda di antaranya.

Dan semua itu, kutemukan di dalam gerbong kereta.

Ya, aku tidak pernah menyangka akan kembali jatuh cinta pada kereta api. Kukira, moda transportasi yang sudah berumur cukup tua ini tidak akan bangkit dan meremaja kembali. Aku keliru.

Kereta api kini telah menyulap segala yang kusam dan tua menjadi muda, energik, dan tentu saja dapat diandalkan kembali; bukannya sebagai pengganti, tetapi sebagai pilihan utama bepergian.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *