Evolusi Kereta Api di Jawa Timur: Dari Jalur Perkebunan ke Pendorong Ekonomi

Evolusi Kereta Api di Jawa Timur

STASIUN MALANG – Siapa sangka, keberadaan kereta api di Jawa Timur dulunya bukan untuk mengangkut penumpang, tapi justru hasil perkebunan sebagaimana pernah juga disinggung pada artikel Sejarah Perkeretaapian Indonesia?

Yap, sebelum kita mengenal kereta api sebagai moda transportasi harian seperti sekarang, rel-rel pertama di Jawa Timur dibangun demi mempercepat pengiriman komoditas seperti gula, kopi, dan tembakau dari pedalaman ke pelabuhan Surabaya.

Read More

Dalam artikel ini, kita bakal menyusuri bagaimana evolusi kereta api di Jawa Timur terjadi. Dari sekadar alat angkut hasil bumi, hingga jadi tulang punggung ekonomi dan penggerak mobilitas masyarakat. Simak selengkapnya, Sob!

Awal Mula: Kenapa Harus Kereta Api?

Balik ke tahun 1870-an, Jawa Timur sedang mengalami ledakan sektor perkebunan. Setelah sistem tanam paksa dihapus, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Agrarische Wet alias Undang-Undang Agraria yang bikin investor swasta tertarik membuka lahan di Hindia Belanda.

Daerah-daerah seperti Pasuruan, Kediri, Madiun, dan Besuki tumbuh sebagai penghasil gula dan kopi berkualitas tinggi. Tapi sayangnya, sistem transportasi masih tradisional: pakai gerobak, perahu, bahkan dipikul. Bayangin aja, pengiriman hasil panen bisa makan waktu berminggu-minggu. Belum lagi kalau hewan penariknya kelelahan di tengah jalan—nggak efisien sama sekali.

Nah, di sinilah kereta api jadi solusi. Pemerintah Belanda mulai melihat pentingnya transportasi cepat dan massal. Akhirnya, pada tahun 1875 diputuskan untuk membangun jalur kereta api pertama di Jawa Timur: Surabaya–Pasuruan–Malang.

Pembangunan Jalur Pertama: Fokusnya Bukan Penumpang

Pembangunan jalur ini dilakukan bertahap. Jalur Surabaya–Pasuruan dibuka pada Mei 1878, lalu Pasuruan–Malang menyusul pada Juli 1879. Total panjangnya 112 kilometer dan jalur ini dikerjakan langsung oleh pemerintah lewat perusahaan kereta api milik negara saat itu: Staatsspoorwegen (SS).

Uniknya, jalur ini dibuat bukan buat angkut orang, tapi barang! Fokus utamanya ya komoditas ekspor seperti gula dan kopi. Barang-barang ini dibawa dari daerah perkebunan di pedalaman, lalu dikirim ke pelabuhan Surabaya buat diekspor ke Eropa.

Rel Terus Meluas: Menuju Pusat Ekonomi Jawa Timur

Setelah jalur Surabaya–Malang sukses, pembangunan kereta api di Jawa Timur makin masif. Berikut beberapa jalur penting yang dibuka:

  • Pasuruan–Probolinggo (1884)
  • Sidoarjo–Madiun–Blitar (1884)
  • Surabaya–Surakarta lewat Mojokerto dan Tarik (1884–1894)
  • Madiun–Ponorogo–Sumoroto (1907)
  • Tulungagung–Trenggalek (1922)
  • Kandangan–Gresik (1925)

Yang menarik, pembangunan ini bukan cuma dilakukan oleh pemerintah. Perusahaan swasta seperti Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) juga ikut membangun jalur penting seperti Gundih–Padangan–Surabaya demi memfasilitasi pengiriman minyak dari Cepu dan kayu jati dari Bojonegoro.

Tak Hanya Kereta, Ada Juga Trem dan Lori

Selain kereta api jarak jauh, Jawa Timur juga punya jaringan trem dan lori. Trem dipakai untuk angkutan jarak pendek dan biasanya melayani dalam kota atau antar kota kecil.

Beberapa perusahaan trem ternama di Jawa Timur waktu itu antara lain:

  • Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS) – rute Ujung–Wonokromo–Krian
  • Malang Stoomtram – melayani Malang–Bululawang–Dampit
  • Kediri Stoomtram – rute Kediri–Jombang
  • Pasuruan Stoomtram, Probolinggo Stoomtram, hingga Madura Stoomtram

Sementara itu, lori—kereta kecil khusus hasil perkebunan seperti tebu—dipakai untuk distribusi dari kebun ke pabrik pengolahan gula.

Kereta Api dan Pelabuhan Surabaya: Duet Maut Ekspor

Surabaya menjadi simpul penting dari jaringan kereta api di Jawa Timur. Bukan cuma karena pelabuhannya strategis, tapi juga karena kota ini jadi pusat perdagangan dan pelayaran Indonesia bagian timur.

Jalur-jalur rel yang berakhir di Surabaya membuat ekspor komoditas seperti gula dan kopi jadi super efisien. Misalnya aja, dengan dibukanya jalur Surabaya–Pasuruan, lahan tebu di Pasuruan meningkat drastis dari 4.000 hektar jadi lebih dari 6.500 hektar di tahun 1900.

Jumlah gula yang diekspor dari pelabuhan Surabaya juga terus naik. Tahun 1870–1875 hanya sekitar 390.000 ton, tapi di tahun 1926–1930 tembus hingga 4,4 juta ton! Sedangkan kopi mencapai 188.000 ton di periode yang sama.

Dampak Sosial dan Ekonomi: Bukan Cuma Angkut Barang

Kehadiran kereta api juga membawa dampak sosial yang nggak kalah penting. Pertama, munculnya lapangan kerja baru. Banyak orang pribumi yang bisa bekerja sebagai masinis, penjaga stasiun, petugas loket, hingga teknisi di bengkel perawatan seperti Balai Yasa di Gubeng dan depo Sidotopo.

Kedua, distribusi barang impor ke daerah-daerah juga makin gampang. Barang seperti mesin, tekstil, dan kebutuhan pokok bisa dikirim dari pelabuhan Surabaya ke kota-kota kecil seperti Bojonegoro, Tuban, hingga Trenggalek lewat jalur rel.

Ketiga, industri gula dan kopi makin menggeliat. Makin banyak perkebunan, makin besar juga kebutuhan mesin pengolahan. Hasilnya, ekonomi lokal ikut bergerak dan berkembang.

Era Kemunduran: Ketika Depresi Global Mengguncang

Sayangnya, kemajuan ini mulai goyah di akhir 1920-an. Krisis ekonomi global alias Great Depression yang terjadi pada 1930 ikut menghantam Hindia Belanda. Harga gula anjlok dari 59 cent/kg jadi cuma 9,6 cent/kg. Ekspor merosot, produksi menurun, dan dampaknya langsung terasa di sektor perkeretaapian.

Meski begitu, jaringan kereta api yang sudah terbangun tetap jadi fondasi penting bagi Jawa Timur di era berikutnya. Bahkan hingga hari ini, banyak jalur kereta dari masa kolonial yang masih aktif digunakan, meski tentu sudah dimodernisasi.

Penutup: Dari Masa Lalu ke Masa Depan

Evolusi kereta api di Jawa Timur adalah bukti bahwa infrastruktur bisa jadi kunci utama kemajuan ekonomi. Dari sekadar alat pengangkut gula dan kopi, rel-rel tua itu kini jadi jalur vital yang menghubungkan kota-kota, manusia, dan aktivitas ekonomi.

Kalau kamu naik kereta dari Malang ke Surabaya hari ini, bayangkan aja kamu sedang menyusuri jalur sejarah yang dulu dibangun dengan keringat dan kepentingan kolonial. Tapi kini, jalur itu milik kita—untuk masa depan yang lebih cepat, murah, dan efisien.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *