Malabar Pagi: Dari Malang Menuju Yogyakarta, Di Atas Rel dan Segelas Teh

Malabar Pagi

STASIUN MALANG – Pukul lima lebih sedikit, pagi masih terlalu muda bagi sebagian orang untuk terbangun.

Tapi aku sudah berdiri di pelataran Stasiun Malang Kotabaru, seolah menunggu takdir datang dalam bentuk kereta. Wajahku masih menyimpan bekas bantal, kelopak mata setengah tertutup, tubuh masih berdebat antara ingin tidur lagi atau melanjutkan hidup.

Read More

Tapi pagi ini tak bisa ditunda, karena kereta akan berangkat. Tepat pukul 05.40.

KA Malabar pagi itu sudah siap di jalur dua. Rangkaian baja mengilap, gerbong-gerbongnya memantulkan cahaya remang lampu stasiun.

Semalam aku juga bersama Malabar, menempuh rute Bandung–Malang di kelas eksekutif. Kini aku naik kembali, tapi di kelas ekonomi premium. Dari yang empuk ke yang sederhana, dari yang hangat ke yang secukupnya.

Tapi perjalanan, seperti hidup, tak selalu dimulai dari kemewahan. Kadang yang sederhana justru lebih membuka mata.

Aku duduk di gerbong Premium 3, kursi nomor 6. Entah di sisi jendela atau lorong, aku lupa.

Tapi aku ingat betul bentuk kursinya: berhadapan dua-dua, sebagian menghadap ke depan, sebagian ke belakang. Konfigurasi ini seperti kehidupan sosial di negeri ini: tak semua berjalan searah, sebagian harus saling berhadapan, melihat mata satu sama lain dalam diam.

Kursinya bisa direbahkan sedikit, tapi tanpa penopang kaki, tanpa meja makan. Hanya ada rak kecil dan colokan listrik.

Tapi ini cukup. Seringkali, yang kita butuhkan dalam perjalanan panjang hanyalah sedikit ruang untuk menyandarkan punggung dan ketenangan untuk memejam.

Di atas kepala, lampu-lampu menyala lembut. Remang-remang, seperti pagi yang belum sepenuhnya sadar. Beberapa layar televisi tergantung mati, entah karena rusak atau hanya menunggu waktu siaran.

Di bawah lampu, rak bagasi menganga, sebagian sudah diisi koper dan ransel—segala macam bentuk harapan, tujuan, dan cerita.

Kereta mulai bergerak. Lambat, lalu pasti.

Dari Malang menuju kota-kota kecil yang berseliweran di peta: Kota Lama, Kepanjen, Sumber Pucung, Blitar, Tulungagung.

Di setiap pemberhentian, kereta memberi jeda. Di setiap jeda, aku mencatat. Ada yang turun membawa koper berat, ada yang naik dengan mata sembab, dan ada yang hanya mengantar, menunggu di balik kaca, lalu melambai.

Semua itu, bagiku, adalah bentuk lain dari puisi.

Di Kepanjen, kereta berhenti untuk bersilang. Malabar sore dari arah Bandung muncul di sisi lain rel, seperti cermin masa lalu yang muncul kembali.

Ia tampak tua, tapi masih gagah. Mungkin begitulah aku di masa depan, atau ayahku dulu: tak muda lagi, tapi tetap berjalan karena tahu arah.

Kami kembali melaju. Jalanan lengang, udara masih basah oleh embun yang belum kering. Pagi itu begitu jernih, dan aku menyeduh teh.

Ya, hanya segelas teh.

Tapi teh dalam perjalanan bukan sekadar minuman, ia semacam perayaan kecil. Aku mengangkat gelas, menyeruputnya pelan-pelan, membiarkan kehangatan itu menuruni tenggorokan dan mengendap di dada.

Kadang, teh adalah rumah.

***

Di Blitar, kereta berhenti sebentar. Seperti jeda dalam buku harian.

Di Tulungagung, seorang anak kecil tertidur di pangkuan ibunya. Di Kertosono, stasiun tampak sunyi—hanya ada burung dan petugas yang memeriksa peron.

Kemudian datanglah petugas restorasi. “Silakan pesan, Pak,” katanya.

Aku memesan nasi sate lilit. Tak pernah sebelumnya kujumpai menu ini di kereta. Sepiring nasi putih, tahu bacem, sate lilit berbentuk seperti es krim, sambal merah, dan sayuran kukus: wortel, buncis, baby corn.

Di tengah deru rel dan gemuruh kabin, sepiring sederhana itu terasa istimewa.

Makanan di kereta tak pernah menjadi soal rasa semata, tapi soal waktu: kapan terakhir kali kita duduk tenang dan makan tanpa tergesa?

***

Tak terasa, kereta melaju cepat. Di speedometer ponselku tercatat kecepatan 117 kilometer per jam. Bukan main. Malabar memang dikenal cepat.

Dari Malang ke Yogyakarta hanya butuh 5 jam 36 menit, nyaris menandingi Gajayana yang hanya 5 jam 27 menit. Bahkan lebih cepat dibanding Kertanegara yang menempuhnya dalam 6,5 jam.

Tapi bukan itu yang membuat perjalanan ini istimewa. Bukan cepatnya. Tapi bagaimana waktu seolah berhenti saat kita menikmatinya.

Di Solo Balapan, kereta berhenti lagi. Kami telat 10 menit, tapi siapa yang mengeluh?

Dalam perjalanan, keterlambatan sering kali bukan soal waktu, tapi soal hati yang belum selesai menatap.

Setelah Klaten, tinggal satu stasiun lagi: Yogyakarta.

***

Kereta mulai memperlambat laju. Aku melihat diriku di balik kaca jendela: tampak letih, tapi damai.

Lalu kulihat kereta melintas di Lempuyangan, berkelok-kelok karena jalurnya diselingi rangkaian semen. “Kenapa harus dibelokkan begini ya?” gumamku. Tapi kereta tak menjawab.

Ia hanya berjalan, seperti hidup.

Pukul 11.25 kami tiba di Stasiun Yogyakarta. Terlambat 9 menit. Tapi bagiku, itu bukan terlambat. Itu adalah waktu tambahan untuk mengenang.

***

Hari ini aku tidak membayar tiket. Perjalanan ini kutebus dengan 2250 poin dari aplikasi Access by KAI.

Tiket senilai 125.000 itu menjadi gratis karena perjalanan-perjalanan sebelumnya. Seperti hidup: yang kita jalani hari ini adalah hasil dari langkah-langkah yang kita buat kemarin.

Harapanku sederhana: semoga Malabar pagi ini tidak hanya jadi kereta sementara.

Semoga ia terus hidup. Karena banyak orang yang membutuhkan opsi keberangkatan pagi dari Malang ke Jogja. Karena kadang, seseorang harus tiba di kota lain sebelum siang, bukan sore.

Dan karena perjalanan di siang hari memberi pemandangan, memberi jeda, memberi waktu untuk berpikir.

Malabar pagi bukan hanya kereta. Ia adalah ruang. Ia adalah waktu. Ia adalah jeda dalam kehidupan yang tergesa-gesa.

Dan hari ini, ia membawaku dari kota yang dingin ke kota yang hangat. Dari Malang ke Yogyakarta. Dari semalam ke hari ini.

Dan di sanalah aku turun, bersama semua ingatan.

***

Jika kau mencari kereta dari Malang ke Yogyakarta yang cepat, berangkat pagi, dan penuh cerita, maka Malabar pagi layak kau pilih.

Tak hanya karena jadwalnya, bukan pula karena kecepatannya, tapi karena ia membawamu menyusuri lanskap Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan tenang dan pelan—dan kadang, itu yang kita butuhkan untuk kembali jadi manusia.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *