Pengalaman Pertama Naik Kereta Api dari Stasiun Malang: Kenangan Orang Udik

Pengalaman Pertama Naik Kereta Api dari Stasiun Malang

STASIUN MALANG – Tahun 2005. Di kampung tempat saya tumbuh, sepur—begitulah kami menyebut kereta api—adalah kendaraan imajinatif yang hanya tumbuh dalam imajinasi anak-anak, termasuk saya.

Ia tak ubahnya mitos: bertenaga besi, panjang seperti naga, dan hanya muncul dalam tabung ajaib televisi.

Saya belum pernah menyentuhnya, belum pernah melihatnya dari dekat, apalagi menumpanginya. Maka ketika pada suatu hari saya diberitahu akan naik sepur dari Stasiun Malang menuju Blitar, hati saya bergetar seperti daun jambu tersentuh angin.

Waktu itu, umur saya masih belasan. Pikiran saya masih mentah, dan banyak hal di dunia ini yang saya anggap terlalu besar untuk saya pahami. Sepur adalah salah satunya.

Sepanjang malam sebelum keberangkatan, saya tak bisa tidur. Kepala saya dipenuhi bayangan-bayang ganjil tentang sepur bakal melaju layaknya badai, menggeret tubuh besarnya di atas rel-rel logam, menghentak-hentak setiap roda bertemu sambungan besi, dan membuat penumpangnya terpental-pental seperti ikan dalam ember.

Saya membayangkan akan duduk dalam gerbong yang berguncang hebat, dengan suara jerit besi yang menyayat, dan setiap getaran akan membuat jantung saya copot.

Saya tidak tahu apa yang membuat saya begitu takut.

Mungkin karena selama ini saya hanya mengenal bus—kendaraan yang sesekali bisa berhenti di halte dan menurunkan penumpang di terminal.

Sepur? Jelas ia tidak bisa berbelok. Tidak bisa mundur. Tidak bisa pula berhenti sekenanya. Kalau sudah melaju, ia hanya menuju satu arah: terus ke depan.

***

Pagi itu, saya sampai di Stasiun Malang untuk pertama kalinya.

Bagi saya, bangunan tua itu seperti pintu gerbang ke dunia yang lebih besar, lebih riuh, dan lebih asing dari desa tempat saya berasal.

Udara pagi masih dingin menusuk, tapi pelataran stasiun sudah penuh dengan orang-orang yang tampak sibuk. Mereka berjalan cepat, menyeret koper, membawa kantong plastik, menenteng anak kecil.

Saya memeluk satu kantong keresek berisi pakaian dan satu botol minuman. Koper? Saya tidak punya.

Langkah kaki saya kikuk. Saya menunduk, takut menatap mata orang-orang kota. Di sudut ruang tunggu, saya duduk sendiri.

Takut-takut mendengarkan pengumuman dari pengeras suara yang suaranya seperti datang dari langit.

Suara itu menyebut nama-nama kereta dan jalur, tapi saya nyaris tak paham satu pun. Saya hanya menunggu ada suara menyebut “Blitar”—dan saat itu terjadi, saya mendadak tegang. “Kereta Api Penataran tujuan akhir Blitar, akan segera tiba di jalur satu.” Itu suara malaikat, pikir saya. Malaikat besi.

Tak lama kemudian, suara deru pelan terdengar dari kejauhan. Awalnya seperti gumaman, tapi makin lama makin jelas.

Sepur itu muncul seperti naga dari cerita-cerita Jawa kuno—panjang, mengilat, dan bergerak dengan kekuatan yang saya tak bisa bayangkan.

Saya berdiri, tapi kaki saya gemetar. Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Orang-orang lain seperti sudah tahu. Mereka berdiri di titik-titik tertentu, dan ketika kereta berhenti, mereka naik tanpa ragu.

Saya ikut antre. Di depan pintu gerbong, saya melihat bayangan diri saya sendiri di kaca. Wajah lugu, keringat dingin, dan mata yang lebih banyak bingung daripada kagum.

Saya melangkah masuk dengan hati-hati, seperti masuk ke perut makhluk raksasa.

***

Gerbong itu tidak seperti bayangan saya. Tidak ada guncangan keras. Tidak ada jeritan besi.

Hanya suara samar-samar: tok… tok… tok… dari sambungan rel, seperti detak jantung pelan di malam sepi. Saya duduk di kursi kayu yang keras tapi bersih.

Di sebelah saya, ada ibu-ibu yang memeluk anaknya, dan seorang bapak-bapak yang tertidur dengan mulut sedikit terbuka.

Saya mengintip ke luar jendela. Di luar sana, dunia mulai bergerak mundur. Pohon-pohon bergeser, sawah-sawah berlari, rumah-rumah desa melintas sejenak lalu hilang. Rasanya seperti saya sedang tidak bergerak, tapi dunia di luar yang meluncur.

Saya menunggu getaran besar. Saya menunggu tubuh saya terpental karena sepur yang melonjak di atas rel.

Tapi itu tak terjadi. Yang datang justru semacam ketenangan. Perjalanan ini terasa seperti didoakan nenek moyang. Lembut. Pelan. Tapi pasti.

Dan tiba-tiba, saya mulai suka sepur.

Saya suka cara ia berjalan tanpa gaduh. Saya suka ritme rel yang teratur, seperti mantra yang meninabobokan.

Saya suka melihat pemandangan desa dari jendela: anak-anak kecil yang melambai sambil tertawa, ayam-ayam yang berlari di pematang, dan ibu-ibu yang menjemur pakaian di halaman.

Semua itu lewat begitu saja, tapi membekas di kepala saya seperti foto lama.

***

Ketika akhirnya tiba di Blitar, saya turun dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, saya lega.

Tapi di sisi lain, saya ingin perjalanan itu lebih panjang. Ada semacam rasa kehilangan yang aneh. Rasa yang tak bisa saya pahami saat itu, tapi kini saya tahu: itu adalah rasa cinta pertama saya pada kereta api.

Bukan cinta yang besar. Tapi cinta yang sederhana, tulus, dan datang tanpa diduga. Seperti cinta anak kampung pada hal-hal yang selama ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan.

Sejak saat itu, saya tahu: naik sepur bukan hanya tentang berpindah tempat. Tapi tentang melampaui ketakutan, menerima ketidaktahuan, dan membiarkan diri tersesat di jalan yang belum pernah ditempuh.

Tahun 2005 itu, saya tidak hanya pergi ke Blitar. Saya juga pergi menjelajahi dunia yang lebih luas, dari dalam jendela gerbong yang kecil.

Dan sejak saat itu, setiap kali saya naik sepur, saya selalu teringat pada bocah desa yang duduk kikuk, memeluk keresek, dan menatap jendela dengan rasa takut yang perlahan-lahan berubah jadi kagum.

Karena sesungguhnya, sepur bukan cuma alat transportasi. Ia adalah guru. Ia mengajarkan saya bagaimana caranya berjalan—pelan, tapi pasti.

***

Pengalaman pertama naik kereta api dari Stasiun Malang ini akan tetap lengket dan menyala dalam tungku ingatan, bahkan mungkin hingga seluruh usia dimakan waktu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *