STASIUNMALANG.COM – Sejarah perkeretaapian Indonesia terkait erat dengan desakan kebutuhan terhadap percepatan laju perputaran barang dan modal, baik di dalam maupun di luar negeri.
Yang di dalam negeri, kebutuhan perputaran barang berbanding lurus dengan geliat pertumbuhan pasar dan kota. Sementara, yang luar negeri didorong oleh kebutuhan pasar yang tengah menanjak, terlebih pasar Eropa.
Pertengahan abad ke-19 hingga menjelang pertengahan abad ke-20 memang menjadi masa di mana perusahaan-perusahaan berbasis komoditas pertanian dan perkebunan sedang menuju gelombang pasang yang meyakinkan. Sehingga, sejumlah negara tropis –termasuk di antaranya: Hindia Belanda- penghasil komoditas ini saling kebut untuk memaksimalkan potensi pertanian dan perkebunannya.
Pemerintah Hindia Belanda, misalnya, kemudian mencanangkan kebijakan tanam paksa di negeri koloninya. Hasilnya memang mencengangkan: Hindia Belanda menjadi salah satu negara penghasil gula dan aneka rempah terunggul di dunia.
Unsur-unsur inilah yang menjadi pendorong perkembangan kereta api di Indonesia sejak pertengahan abad ke-19 itu.
Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschppij (NISM)
Mulanya adalah Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschppij (NISM), perusahaan kereta api swasta berbasis di Semarang, yang pada Juni 1864 memulai penggarapan rel kereta di desa Kemijen, Semarang, dengan tujuan menghubungkan kota ini dengan Tanggung yang berjarak sekitar 25 KM.
Dengan demikian, Semarang menjadi tonggak sejarah perkeretaapian Indonesia.
Pasca terbitnya kebijakan tanam paksa oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-19 dimana Semarang menjadi semacam pilot project untuk penanaman gula dan aneka komoditas perkebunan lainnya, kota ini dengan segera menjadi lokomotif ekonomi berbasis hasil pertanian dan perkebunan.
Dan bersama dengan meningkatnya hasil industri pertanian dan perkebunan tersebut, pemerintah kolonial terdorong untuk mengembangkan moda transportasi yang dapat memindahkan barang dalam skala yang lebih besar, lebih efisien, anti-macet, dan tentu saja lebih murah dalam jangka panjang.
Maka setelah melewati masa yang alot sejak tahun 1842, Gubernur Jenderal van den Beele akhirnya mengambil keputusan penting yang menandai penggunaan teknologi baru dalam bidang transportasi, dengan menunjuk NISM sebagai eksekutornya.
Perusahaan kereta api pertama di Hindia Belanda dan berdiri pada Agustus 1842 ini juga merupakan perusahaan perkeretaapian kedua yang menginisiasi pengoperasian kereta api sebagai moda transportasi publik di Asia Tenggara. Sebelumnya, inisiatif serupa juga dijalankan Thailand.
NISM sebetulnya telah mendapatkan konsesi pembangunan rel sejak Agustus 1863. Namun karena alasan pendanaan, perusahaan ini baru bisa merealisasikannya pada Juni 1864. Kelak, rel kereta menjadi penghubung pusat-pusat keramaian, perdagangan, pasar, dan kota di sekujur Jawa dan Sumatera.
Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial tidak saja menggunakan kereta api sebagai moda pengangkut barang, namun juga untuk keperluan administratif seperti perjalanan dinas pejabat dan mobilitas manusia.
Faktor-Faktor Pengembangan Rel
Dalam buku “Sejarah Perkeretaapian Indonesia Dulu, Kini, dan Mendatang” terbitan Balai Pustaka pada 2020 disebutkan, terdapat dua faktor penting di balik perkembangan jalur kereta api di Indonesia.
Pertama, perkembangan kereta api tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan penyewaan alat transportasi dan percepatan penanaman komoditas unggul untuk pasar global (ekspor) seperti tembakau, kopi, tebu, dan indigo. Komoditas berikut pasarnya diatur pemerintah kolonial melalui Undang-undang Agraria tahun 1870.
Undang-undang ini memungkinkan para pengusaha untuk mengatur dan mengendalikan pasar secara bebas dan terbuka. Bersama dengan itu, muncullah sejumlah taipan penguasa pasar dan modal yang berangkat dari perusahaan pengolah tebu, sebut saja Oi Tiong Ham.
Pengusaha gula dengan total kekayaan mencapai 200 juta gulden ini bahkan dijuluki sebagai The Richestman between Shanghai and Asutralia (Manusia terkaya antara Shanghai dan Australia) oleh surat kabar De Locomotief pada 1920-an.
Kedua, perkembangan kereta api terkait dengan muncul dan berkembangnya pusat-pusat keramaian/pasar baru di tengah kota. Fenomena ini kian mengukuhkan urgensitas kereta api sebagai moda transportasi publik dan pengangkut barang.
Pasar dan keramaian adalah tempat di mana barang dan jasa dipertukarkan sehingga demand (permintaan) terhadap barang juga terus tumbuh bersama dengan terus berdenyutnya aktivitas ekonomi pasar itu. Maka, antara tahun 1870-1894, jalur-jalur baru telah beroperasi, yakni di Semarang pada 1870, Surabaya pada 1884, dan pada 1894 jalur kereta api secara resmi beroperasi di Bandung dan Batavia.
Faktor ekonomi memang menjadi faktor utama yang mendorong pembangunan dan pengembangan rel kereta di seluruh daerah koloni Hindia Belanda, terlebih Jawa dan Sumatra. Faktor lain, misalnya sebagai alat transportasi mobilitas tentara, adalah faktor ikutan yang kurang signifikan.